Istilah
Digital Parenting sebenarnya telah
bergaung sejak bertahun-tahun silam. Namun, digital
parenting mendapatkan momentumnya kembali saat kita semua berada dalam
situasi pandemik yang mengharuskan kita menerapkan physical distancing. Buat para pemula yang belum berpengalaman
menerapkan digital parenting,
tips-tips apa saja sih yang harus kita ketahui?
Sebelum
memulai pembahasan ini, yuk kita
pahami terlebih dahulu apa makna sesungguhnya dari digital parenting. Digital
parenting muncul sebagai sebuah fenomena ketika dunia menjadi semakin
terdigitalisasi. Hal ini ditandai dengan penggunaan media digital di mana-mana:
untuk berbelanja, untuk bekerja, untuk berkomunikasi, untuk pendidikan,
termasuk untuk mengasuh anak.
Nah,
salah kaprah sering muncul ketika orangtua mengartikan digital parenting sebagai ‘mengasuh anak menggunakan media
digital.’ Betul, digital parenting
dalam praktiknya akan banyak menggunakan media digital, sehingga pola
interaksinya akan sedikit berbeda. Namun, prinsip-prinsip pengasuhannya tetap
sama saja dengan parenting pada
umumnya.
Nah,
seperti apa itu?
Pertama,
fungsi orangtua adalah pengasuh, guru, sekaligus juga pengawas. Hal ini tidak
boleh digantikan oleh aplikasi atau program secanggih apapun. Kedua, fungsi
pengasuhan adalah memberi ruang tumbuh kembang pada anak, sekaligus melindungi
mereka dari pengaruh yang tidak baik. Ketiga, gaya pengasuhan anak bisa
berbeda-beda di setiap keluarga. Biarin, itu malah asyik. Tetapi, apapun gaya
pengasuhan yang dipilih, tetap harus dilandaskan pada nilai-nilai yang diyakini
keluarga. Karena, fungsi pengasuhan pada dasarnya adalah fungsi pendidikan,
yaitu mewariskan nilai-nilai yang kelak akan membantu anak mengembangkan karakter
dan kepribadiannya.
Oke,
paham ya. Itulah aspek parenting atau
keayahbundaan secara umum. Bagaimana dengan digital
parenting? Fungsi orangtua dalam digital
parenting adalah mendampingi anak menggunakan media digital sebaik-baiknya,
sehingga terhindar dari dampak negatifnya, dan mendapatkan manfaat maksimal. Berurusan dengan media digital, atau berada
dalam lansekap dunia digital, membuat digital
parenting memiliki kekhasan tersendiri. Nah, saat melakukan fungsi
tersebut, orangtua harus mengingat lima perkara berikut ini.
1). Akses.
Ada
dua hal yang perlu diketahui terkait dengan akses. Yaitu, akses terhadap media
dan kedua, akses terhadap situs atau sumber informasi. Kita bahas yang pertama
dulu. Bicara soal kepemilikan, ada anak-anak yang memiliki gadget pribadi. Ada pula yang meminjam gadget orangtuanya atau orang dewasa di sekitarnya. Nah, terkait
penggunaan gadget atau media digital,
baik milik sendiri atau meminjam kepunyaan orangtua, apakah mereka bebas
meminjam atau menggunakan kapan saja? Apakah mereka bebas menggunakannya untuk
keperluan apa saja? Apakah mereka membutuhkan ijin dari orangtua agar bisa
menggunakan media digitalnya? Anak-anak yang masih kecil jelas membutuhkan
pendampingan dalam bentuk edukasi dan pengawasan. Tetapi, anak-anak yang lebih
dewasa, tentu tidak bisa disamakan perlakuannya. Mereka harus mulai diberi
kepercayaan, walaupun tidak dilepas 100 persen.
Kedua,
akses terhadap sumber informasi maupun sumber hiburan yang digunakan, juga
terhadap media sosial. Situs web apa yang diakses atau dikunjungi oleh
anak-anak? Media sosial apa yang dipakai oleh anak? Apakah sesuai dengan
batasan usia? Saat anak menggunakan aplikasi chat, dengan siapa saja mereka
berhubungan? Grup aplikasi chat apa saja yang diikuti oleh anak-anak, tempat
mereka menjadi anggota atau member-nya? Manajemen akses adalah inti dari aspek
ini.
2). Durasi atau lamanya penggunaan media.
Berapa
lama media digital digunakan? Kapan waktu penggunaannya? Pada masa-masa WFH (work from home) atau SFH (school from home) sekarang ini,
penggunaan media digital memang menjadi lebih lama dibanding biasanya. Namun,
tetap harus ada batasan durasi penggunaannya, karena terkait dengan masalah
kesehatan dan psikologis. Plus, anak (dan orangtua) juga perlu istirahat, kan?
Manajemen waktu menjadi hal yang sangat penting dalam digital parenting untuk mencegah kasus-kasus over dosis dalam menggunakan media digital.
3). Keamanan.
Masuk ke ruang digital, sesungguhnya bagaikan memasuki alam rimba di
mana kita bertemu dan berinteraksi dengan pihak-pihak yang belum tentu dikenal
secara fisik. Terlebih masuk ke media sosial. Jika dalam kehidupan sehari-hari
orangtua biasa memberikan peringatan kepada anak agar tidak sembarangan
berbicara pada orang asing, atau menuruti ajakan orang yang tidak dikenal, bukankah
pada dasarnya hal yang sama juga berlaku di ruang digital? Media digital dapat
menjadi perantaraan yang membawa orang-orang asing masuk ke dalam ‘rumah’ dan
‘ruang pribadi’ kita. Ini sama saja dengan membuka ruang privat lebar-lebar
kepada publik di luar sana.
Keamanan
juga berkaitan dengan pencurian data, di mana data-data pribadi keluarga
dimiliki oleh pihak lain tanpa ijin, sehingga rentan dimanipulasi dan
diperjualbelikan untuk berbagai tujuan. Sudah banyak contoh yang memperlihatkan
resiko saat faktor keamanan diabaikan. Mulai dari penipuan keuangan (seperti memberikan
PIN atau kode OTP yang menyebabkan pembobolan rekening), penculikan, hingga cyberbullying dan cyberpornografi. Kita tentu tidak ingin mengorbankan masa depan
anak-anak dan menjadikan mereka sebagai korban kejahatan.
Data
pribadi adalah privasi yang harus dilindungi. Di sini, isunya adalah manajemen
privasi keluarga. Digital parenting
berarti mengetahui resiko keamanan dan menjauhkan atau melindungi anak dari
berbagai kemungkinan kejahatan digital. Digital
parenting, dengan demikian, juga berkenaan dengan manajemen privasi dan
sekuriti/keamanan.
4). Aturan dan Kesepakatan
Betapapun
bebasnya atau betapapun demokratisnya sebuah keluarga, digital parenting tetap mengharuskan adanya aturan tertentu dalam
penggunaan media digital. Aturan tersebut dapat mencakup kapan saja dan berapa
lama media digital digunakan, apa saja yang boleh dilakukan dengan media
digital, sumber informasi atau konten media digital apa saja yang boleh
diakses, dan sebagainya. Intinya: manajemen akses, manajemen waktu, dan
manajemen privasi/keamanan.
Tentu
saja, dalam pembatasan aturan, diperlukan kebijaksanaan tersendiri. Aturan bagaimanapun
harus disesuaikan dengan usia anak dan tujuan dari pengaturan itu sendiri.
Aturan bagi anak-anak kecil diarahkan pada edukasi dan pendisiplinan. Sedangkan
aturan bagi anak-anak yang lebih dewasa adalah pada kedisiplinan dan pemenuhan
tanggungjawab sebagai ganti kebebasan yang diperoleh.
5). Balance atau keseimbangan.
Dalam
satu hari, ada berapa layar monitor yang kita hadapi? Jawabannya, banyak. Tak
terhitung. Ada monitor laptop, layar televisi, layar bioskop, sampai reklame
luar ruang berupa megatron berkelap-kelip. Itu layar monitor loh. Tentu saja, yang
paling menyedot perhatian kita setiap saat adalah screen handphone. Kita tak sadar bahwa berhadapan terus dengan
layar monitor telah menyedot energi kita. HIdup jadi tak seimbang. Pada taraf
tertentu, kesehatan fisik mental pun jadi terganggu.
Tugas
digital parenting di sini adalah
mengelola balance atau keseimbangan.
Hidup itu bukan hanya dihabiskan di depan layar monitor thok. Agar seimbang, hidup juga perlu diisi dengan hal-hal lainnya,
seperti berkebun, memasak, bermain, berlari, petak umpet, apa sajalah yang
penting happy, fun, dan tidak
merusak. Dalam upaya mencapai keseimbangan, kerapkali digital parenting berarti melakukan hal-hal yang tidak digital sama
sekali.
So,
Manajemen
akses, manajemen waktu, manajemen privasi, manajemen aturan, hingga manajemen
keseimbangan adalah prinsip inti digital
parenting. Apa tujuan dari semua ini? Jawabannya adalah menyiapkan anak
menjadi generasi digital yang tangguh. Artinya, memiliki digital resilience atau ketahanan digital. Dalam perjalanan
hidupnya, anak tak mungkin terus-terusan diawasi, dikontrol, atau diberitahu
ini-itu-kan? Cepat atau lambat, saat mulai bertumbuh dewasaAnak akan berhadapan
dengan situasi-situasi yang membuatnya harus mampu mengambil keputusan yang
jitu secara mandiri. Dan ini berlaku baik di dunia nyata, maupun di dunia
digital. So, sama saja kan?
Tentu
saja, semua ini tidak ada gunanya, kalau orangtua tidak memberikan teladan pada
anak-anaknya tentang perilaku yang baik. Jadi, ketika hendak menerapkan digital parenting, Anda sebaiknya
berefleksi dan berintrospeksi terlebih dahulu: sudahkah saya menjadi orangtua
yang baik? (000)
Penulis: Santi
Indra Astuti